fanzz

Selasa, 14 Mei 2013


BAYI MUNGIL YANG TERBUANG
Tradisi turun temurun dari zaman nenek moyang kini masih saja dilakukan oleh orang-orang di pedesaan. Keyakinan-keyakinan orang jaman dahulu masih sangat melekat di hati mereka entah karena sangking patuhnya mereka terhadap segala ucapan pendahulu-pendahulu mereka ataukah karena ingin melestarikan tradisi leluhurnya. Terkadang kejadian teersebut tidak masuk akal, orang-orang sekarang biasa menyebutnya dengan istilah “klenik”. Khusus yang satu ini, membuang bayi dengan weton sama masuk dalam kategori “klenik” atau bukan tergantung pada keyakinan masing-masing.
M. Rikza, lahir pada hari kamis kliwon, 20 Maret 1980, ia dilahirkan dari masyarakat yang masih memegang teguh tradisi kuno. Si bayi mungil tersebut  berasal dari keluarga menengah kebawah yang tinggal di area home industry sandal. Semasa kecilnya ia sangat gemar bermain dolanan-dolanan khas Jawa. Selain itu, ia juga sangat tertarik dengan ilmu-ilmu keagamaan dan lain sebagainya. Bayi mungil ini dibesarkan oleh orang tuanya dalam keadaan yang serba pas-pasan. Hidupnya pun penuh dengan keserderhanaan. Dalam kondisi serba kekurangan, tekatnya untuk menjadi orang sukses semakin meningkat sehingga ia mempunyai prinsip bahwa “miskin boleh tetapu sukses harus”
Kelahiran bayi dengan weton sama dengan orang tuanya diyakini bahwa si anak nanti ketika dewasa akan selalu bertengkar dengan orang tuanya sehingga ia harus dibuang terlebih dahulu sampai nanti ada orang yang menemukanya. “Saya lahir pada hari Kamis kliwon yang kebetulan sama dengan weton ibu saya. Saya dibuang di atas engkrak sebesar tubuh saya dan ditemukan oleh mbah saya (mbah Saudah)” tutur Rikza. Secara tradisi hak asuh yang semula dari orang tua berpindah pada orang yang menemukanya. Alhasil, bayi mungil tersebut, mempunyai kedekatan yang begitu dekat dengan orang tuanya, “saya selalu mengikuti kemanapun orang tua saya pergi, mulai dari ngaji, silaturrahim, bahkan ziarah-ziarah ke kiai-kiai”. Tutur Rikza.

Minggu, 12 Mei 2013


Bayi Mungil Yang Terbuang
Tradisi turun temurun dari zaman nenek moyang kini masih saja dilakukan oleh orang-orang di pedesaan. Keyakinan-keyakinan orang jaman dahulu masih sangat melekat di hati mereka entah karena sangking patuhnya mereka terhadap segala ucapan pendahulu-pendahulu mereka ataukah karena ingin melestarikan tradisi leluhurnya. Terkadang kejadian teersebut tidak masuk akal, orang-orang sekarang biasa menyebutnya dengan istilah “klenik”. Khusus yang satu ini, membuang bayi dengan weton sama masuk dalam kategori “klenik” atau bukan tergantung pada keyakinan masing-masing.
M. Rikza, lahir pada hari kamis kliwon, 20 Maret 1980, ia dilahirkan dari masyarakat yang masih memegang teguh tradisi kuno. Kelahiran bayi dengan weton sama dengan orang tuanya diyakini bahwa si anak nanti ketika dewasa akan selalu bertengkar dengan orang tuanya sehingga ia harus dibuang terlebih dahulu sampai nanti ada orang yang menemukanya.
“Saya lahir pada hari Kamis kliwon yang kebetulan sama dengan weton ibu saya. Saya dibuang di atas engkrak sebesar tubuh saya dan ditemukan oleh mbah saya (mbah Saudah)” tutur Rikza. Secara tradisi hak asuh yang semula dari orang tua berpindah pada orang yang menemukanya. Alhasil, bayi mungil tersebut, mempunyai kedekatan yang begitu dekat dengan orang tuanya, “saya selalu mengikuti kemanapun orang tua saya pergi, mulai dari ngaji, silaturrahim, bahkan ziarah-ziarah ke kiai-kiai”. Tutur Tikza